You are here
Upacara Tahunan
Upacara Tahunan
Grebeg Syawal
Upacara Grebeg Syawal diadakan setiap tahun pada hari pertama bulan kesepuluh Syawal kalender Jawa di akhir Ramadhan, bulan suci bagi umat Islam. Grebeg Syawal adalah perayaan yang diadakan untuk memperingati selesainya kewajiban pantang bagi umat Islam. Upacara ini mirip dengan upacara Grebeg Maulud dengan warna-warni arak-arakan Gunungan dari Keraton Yogyakarta menuju Masjidil Haram di dekatnya.
Grebeg Besar
Diselenggarakan setiap hari raya Idul Adha di Keraton Yogyakarta pada hari kesepuluh bulan terakhir kalender Jawa (Besar) untuk memperingati ujian agama Nabi Ibrahim yang pernah ditantang untuk mengorbankan putra tunggalnya. Perayaan ini juga dilakukan pada Hari Raya Idul Adha dengan menyembelih kambing dan sapi, membagikan dagingnya, dan bersedekah kepada saudara-saudara kita yang kurang mampu.
Upacara Sekaten
Sekaten diselenggarakan setiap tahun dimulai pada hari kelima bulan ketiga kalender Jawa (Mulud), berlangsung selama satu minggu dan berpuncak dengan upacara Grebeg Mulud. Sekaten memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Dimulai pada waktu malam arak-arakan abdi dalem keraton, meninggalkan Pendopo Ponconiti dan berbaris beriringan membawa 2 kelompok pengiring bernama Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu menyusuri Jalan Malioboro menuju Rumah Ibadah Raya. 2 kelompok pengiring tersebut tetap pada waktu yang sama hingga hari kesebelas Mulud setelah masyarakat datang ke Keraton pada waktu malam. Masyarakat Yogyakarta percaya bahwa merayakan Sekaten dan khususnya kelompok pengiring akan diganjar dengan kesehatan dan kesejahteraan.
Grebeg Mulud
Gerebeg Maulud merupakan puncak dari Sekaten. Dirayakan setiap tahun pada hari kedua belas bulan ketiga penanggalan Jawa, upacara Grebeg Mulud dimulai pada pagi hari oleh para pengawal keraton dengan pakaian adat tradisional mengarak Gunungan (tumpukan nasi berbentuk gunung yang dikelilingi buah-buahan, sayur-sayuran, telur, dan kacang tanah yang kemudian menjadi lambang kemakmuran Kerajaan Mataram) dari Keraton Yogyakarta menuju rumah ibadah di Jalan Malioboro. Setelah selesai sembahyang di rumah ibadah, nasi tumpeng dipotong dan makanan dibagikan kepada semua yang hadir.
Upacara Labuhan
Upacara Labuhan diselenggarakan setiap tahun pada bulan April untuk merayakan kelahiran Sri Sultan Hamengkubuwono sekaligus untuk menjaga kesejahteraan penguasa dan rakyat Yogyakarta. Kata Labuh berarti /melarung/membuang sesuatu ke sungai atau laut. Sesaji yang diberikan oleh penguasa biasanya berupa makanan, potongan rambut, dan kuku, kemudian dibuang ke Laut Selatan di Pantai Parangkusumo untuk menghormati Kanjeng Ratu Kidul (Dewi Laut Selatan). Upacara serupa juga diadakan di puncak Gunung Merapi dan Lawu di Jawa Tengah.
Tanggap Warsa Suro
Upacara Tanggap Warso Suro diadakan setiap tahun sepanjang bulan pertama kalender Jawa (Suro), upacara ini merayakan tahun Jawa dengan pertunjukan wayang kulit yang mewah dan pertunjukan tari alternatif.
Nguras Enceh/Gentong
Upacara lain yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan pertama kalender Jawa (Suro) adalah upacara Nguras Enceh di Makam Raja, Imogiri. Masyarakat Imogiri percaya bahwa air akan mendatangkan rejeki nomplok dan mengisi empat bejana perunggu raksasa dengan air lalu meletakkannya di pintu masuk makam. Kendi-kendi tersebut berasal dari negara Asia (Nyai Siem), Kyai Mendong; Aceh (Kyai Danumoyo), dan Palembang (Nyai Danumurti).
Upacara Saparan
Upacara Saparan dilakukan setiap bulan kedua kalender Jawa (Sapar) oleh masyarakat di Ambar Ketawang, Gamping, dan Sleman. Pada suatu ketika, penduduk Ambar Ketawang menggali batu galian yang diperkirakan berusia sekitar lima puluh juta tahun. Saat ini batu tersebut sudah tidak ada (atau terlalu sulit ditemukan) tetapi masyarakat masih berpikir bahwa mereka harus membuat sesaji untuk kerajaan agar terhindar dari malapetaka. Oleh karena itu penduduk membuat prosesi sesaji untuk kerajaan yang puncaknya adalah dengan pemenggalan Bekakak (boneka pengantin yang terbuat dari beras ketan yang diberi sirup gula merah).
Copyright © 2025,